Sosok, Sosio: Setiap tanggal 5 April, langit bagi para pencinta musik grunge terasa sedikit lebih kelabu. Bukan karena musim, tapi karena kenangan.
Pada hari itulah, tepatnya tahun 1994, dunia kehilangan sosok yang tak tergantikan—Kurt Donald Cobain.
Sang legenda dari Seattle, pentolan Nirvana, dan suara utama dari generasi yang merasa tak punya tempat di dunia yang sibuk mengejar kesempurnaan.
Kurt tak ditemukan pada 5 April. Tubuhnya baru ditemukan tiga hari kemudian, pada 8 April, oleh seorang teknisi listrik yang datang untuk memperbaiki instalasi rumahnya.
Tapi hasil otopsi mengungkapkan, ia sudah lebih dulu pergi. Tepat pada 5 April 1994, ia mengakhiri segalanya dengan tembakan di kepala dan heroin dalam tubuhnya.
Ia meninggalkan dunia dengan cara yang tragis, tetapi lebih dari itu, ia meninggalkan surat. Sebuah catatan yang hingga kini dibaca dengan campuran emosi: sedih, bingung, dan penuh tanya. Dalam suratnya, ia menulis:
> “Karena ditulis oleh seorang tolol kelas berat yang jelas-jelas lebih pantas menjadi seorang pengeluh yang lemah dan kekanak-kanakan… Jadi ingatlah, lebih baik terbakar habis, daripada memudar.”
Kalimat terakhir itu membekas. Menjadi kutipan abadi, sekaligus luka yang tak pernah benar-benar sembuh bagi para penggemar.
Kurt Cobain: Masa Kecil, Trauma, dan Bakat yang Bersinar
Kurt Cobain lahir di Aberdeen, 20 Februari 1967. Ia bukan sekadar musisi—ia adalah representasi dari keresahan.
Anak dari keluarga yang retak, jiwanya tak pernah benar-benar utuh. Musik jadi pelarian, tapi juga jadi beban. Ketika Nirvana meledak lewat Smells Like Teen Spirit pada 1991, Kurt justru merasa semakin jauh dari dirinya sendiri.
Ia tak pernah ingin jadi ikon. Tapi dunia menuntutnya untuk jadi sesuatu yang bahkan ia sendiri tak yakini.
Kehidupannya penuh paradoks. Ia menikah dengan Courtney Love, memiliki seorang putri bernama Frances Bean Cobain, dan menciptakan lagu-lagu yang jadi soundtrack hidup banyak orang—Come as You Are, Lithium, Heart-Shaped Box, hingga All Apologies.
Tapi di balik layar, ia bergumul dengan kecanduan, kesehatan mental yang rapuh, dan beban ketenaran.
1 April 1994, Kurt kabur dari panti rehabilitasi. Ia memanjat pagar dan menghilang. Courtney menyewa penyelidik swasta pada 3 April.
Tapi semuanya sudah terlambat. Tiga hari setelahnya, jasad Kurt ditemukan. Dunia pun berduka.
Banyak teori berkembang. Ada yang percaya itu bunuh diri, ada pula yang curiga ini pembunuhan. Tapi apa pun versinya, satu hal tetap sama: 5 April adalah tanggal kehilangan.
Namun, Kurt tak pernah benar-benar pergi.
Suara seraknya, lirik melankolisnya, petikan gitarnya yang khas—semua masih hidup. Dalam kamar remaja yang gelap, di headphone para pengelana malam, di klub-klub kecil yang memainkan Come As You Are dengan setengah cahaya.
Kenang Kurt Cobain
Pada 2010, Seattle Art Museum menggelar pameran bertajuk “Kurt”. Sebuah penghormatan yang membuktikan, Kurt lebih dari sekadar musisi. Ia adalah simbol. Bagi mereka yang merasa asing di tengah keramaian. Bagi mereka yang tak tahu bagaimana cara menyatu, tapi tak ingin sendirian.
Setiap tanggal 5 April, banyak yang kembali memutar lagunya, membaca suratnya, dan merenung. Tentang hidup, tentang kehilangan, dan tentang keberanian untuk menjadi rapuh.
Karena pada akhirnya, Kurt Cobain bukan hanya mengubah musik—ia mengubah cara kita melihat diri sendiri.
Dan di tengah semua gemuruh dunia, kita selalu ingat, bahwa Kurt pernah ada. Pernah bersuara. Pernah terbakar habis, bukan memudar.