Ragam, Sosio: Lafran Pane, sebagai pencetus dan pemimpin pertama Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), mendirikan organisasi tersebut pada 5 Februari 1947.
Pengakuan sebagai pahlawan nasional diberikan kepadanya pada tahun 2017 melalui Keputusan Presiden RI Nomor 115/TK/TAHUN 2017 tanggal 6 November 2017 yang menetapkan penganugerahan Gelar Pahlawan Nasional.
Pada tahun 2020, kehidupan dan cerita Lafran Pane direncanakan untuk diadaptasi ke dalam sebuah film yang memasuki tahap produksi di tengah-tengah pandemi.
Proyek film yang berjudul Lafran ini dikembangkan oleh Korps Alumni Himpunan Mahasiswa Indonesia (KAHMI) dengan Reborn Initiatives sebagai rumah produksi, yang kemudian memutuskan untuk menyelesaikan proses pasca-produksi pada tahun yang sama.
Dilansir Antara, KAHMI dan Reborn menilai bahwa tahun 2024 merupakan waktu yang strategis untuk meluncurkan film yang akan menampilkan Dimas Anggara, Lala Karmela, dan Mathias Muchus sebagai pemeran utama.
Biografi Lafran Pane
Kelahiran Lafran Pane terjadi pada tanggal 5 Februari 1922 di Kampung Pangurabaan, Sipirok, Kabupaten Tapanuli Selatan, Sumatera Utara. Ia berasal dari keluarga yang memiliki latar belakang sebagai penulis dan aktivis.
Mengutip Jurnal UIN Sunan Gunung Djati, Lafran Pane sebenarnya dilahirkan di Padangsidempuan pada tanggal 5 Februari 1922.
Namun, untuk menghindari penafsiran yang beragam, terutama seiring dengan berdirinya HMI, Lafran Pane memutuskan untuk mengubah tanggal kelahirannya menjadi 12 April 1923.
Pengungkapan ini disampaikan oleh Dra. Tetty Sari, putri bungsu Lafran Pane, yang didampingi oleh abangnya Ir. M. Iqbal Pane dan ibu Lafran Pane pada 25 Januari 1991 saat proses pemakaman almarhum.
Kejadian tersebut diamati oleh Akbar Tanjung (eks ketua DPR RI), Drs. Musa Ahmad (eks ketua umum HMI Komisariat FKSS IKIP Yogya), Agussalim Sitompul (eks ketua umum HMI Cabang Yogya), serta beberapa anggota HMI lainnya.
Ayahnya Lafran pane, yang bernama Sutan Pangurabaan Pane, merupakan seorang jurnalis dan penulis, serta pendiri serta pemimpin Surat Kabar Sipirok-Pardomuan.
Beliau juga dikenal sebagai seorang pendidik dan mendirikan Muhammadiyah di Sipirok pada tahun 1921.
Sementara itu, dua kakak Lafran, yaitu Sanusi Pane dan Armijn Pane, dikenal sebagai sastrawan terkemuka. Karya-karya kedua tokoh ini dapat ditemukan dengan mudah di toko buku, perpustakaan, atau melalui internet.
Sebagai keturunan tokoh Muhammadiyah, Lafran mengawali pendidikannya di Pesantren Muhammadiyah Sipirok.
Ia sering pindah-pindah sekolah hingga mencapai tingkat menengah. Akhirnya, Lafran Pane melanjutkan pendidikannya di kelas tujuh di HIS Muhammadiyah, kemudian melanjutkan di Sekolah Tinggi Islam.
Sebelum menyelesaikan pendidikan di STI, Lafran beralih ke Akademi Ilmu Politik (AIP) pada bulan April 1948, yang sekarang termasuk dalam Fakultas Hukum, Universitas Gadjah Mada (UGM).
Selanjutnya, Lafran Pane mengedarkan ide-ide tentang Islam dan identitas Indonesia. Hal ini terjadi pada Kongres Muslim Indonesia (KMI) tanggal 20-25 Desember 1949 di Yogyakarta, dihadiri oleh 185 organisasi ulama dan intelijensia dari seluruh Indonesia.
Dalam tulisannya, Lafran mengklasifikasikan masyarakat Islam menjadi empat kelompok. Kelompok pertama adalah golongan awam, yaitu mereka yang menjalankan ajaran Islam sebagai kewajiban yang diadatkan, seperti upacara pernikahan, kematian, dan selamatan.
Golongan kedua terdiri dari para ulama dan pengikutnya yang berkeinginan agar praktik agama Islam sesuai dengan yang diterapkan oleh Nabi Muhammad SAW.
Sementara itu, kelompok ketiga terdiri dari ulama dan penganutnya yang dipengaruhi oleh ajaran mistik. Pengaruh mistik ini menyebabkan mereka meyakini bahwa tujuan hidup hanya untuk akhirat, sehingga kurang memperhatikan aspek kehidupan dunia seperti ekonomi, politik, dan pendidikan.
Di sisi lain, kelompok keempat terdiri dari sejumlah kecil orang yang berupaya menyesuaikan diri dengan tuntutan zaman, sejalan dengan bentuk dan esensi dari agama Islam. Mereka berupaya agar agama ini dapat diterapkan dengan benar dalam konteks masyarakat Indonesia saat ini.
Pane meninggal pada tanggal 25 Januari 1991 di Yogyakarta, sementara HMI yang dia inisiasi tetap eksis hingga sekarang.
Selain kesibukannya dalam kegiatan organisasi, Pane juga meninggalkan sembilan buku dan karya ilmiah. Pada tahun 1964, ia turut serta dalam pendirian PERSAMI (Persatuan Sarjana Muslim Indonesia).
Pemikiran Pane tercermin dalam tulisan-tulisannya, dan dampak ide-idenya terlihat dalam berdirinya HMI.
Lafran Pane, yang kemudian diangkat sebagai pahlawan nasional, terkenal sebagai salah satu perintis HMI pada 5 Februari 1947, pengakuan ini dilakukan melalui kongres XI HMI di Bogor pada tahun 1974.
Peranannya dalam HMI diakui oleh Kongres XI HMI tahun 1974 di Bogor, yang menetapkan Lafran Pane sebagai perintis dan pendiri HMI.
Pane menunjukkan tekad kuat dan sebagai intelektual Muslim Indonesia yang berdiri di garis depan dalam membela Negara Republik Indonesia.